Masa bakti anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009-2014 sebentar lagi
usai. Isi Senayan dalam tahun ini sebagian besar akan berubah
menjadi wajah-wajah baru dan lugu. Wajah yang di pelupuk matanya
bersinar keluguan dan kesungguhan untuk mengabdi pada negara, pada
konstituen yang memilih mereka atau pada rakyat yang telah memberi
suaranya, sebagaimana harapan yang dilontarkan Iwan Fals untuk
para wakil rakyat: “Saudara dipilih bukan dilotre, meski kami tak
kenal siapa saudara.”Para wakil rakyat ini sangat diharapkan dapat
menyepakati peraturan atau undang-undang yang mengakomodasi
kepentingan negara serta mengayomi dan melindungi rakyat. Mereka
bukan sekelompok orang atau kepentingan. Undang-undang yang dihasilkan
pun harus mempunyai kualitas tinggi, sehingga tidak perlu
direvisi setiap saat, apalagi bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar. Walaupun demikian, pembahasan undang-undang tersebut tidak
semestinya macet di tengah jalan alias tidak selesai dalam masa kerja
anggota DPR yang hanya lima tahun. Apalagi jika UU itu merupakan
peninggalan anggota DPR masa kerja sebelumnya, tentu ini akan menjadi
tanda tanya besar. Hal itu terjadi pada Rancangan Undang-Undang
Keperawatan. RUU Keperawatan telah masuk ke Senayan sejak masa kerja
anggota DPR 2004 – 2009,
tetapi hingga kini nasibnya tak jelas.
Akhir-akhir ini, hampir tidak terdengar adanya pembahasan RUU
tersebut di DPR, padahal targetnya akhir 2013 telah disahkan.
Kenyataannya hingga masuk 2014 semakin tidak jelas. hingga kini masih
dalam tarik ulur dan belum disahkan. RUU Keperawatan diyakini dapat
menjadi penguat dan pelindung bagi profesi perawat. Berdasarkan
analisis beberapa ahli keperawatan dan kalangan DPR sendiri, RUU ini
sangat ditakutkan oleh Kementerian Kesehatan dan sebagian profesi
kesehatan lain, terutama dokter. Mengapa?
1. Pertama,
dengan
adanya Undang -Undang Keperawatan, maka sebagian kewenangan
Kementerian Kesehatan akan beralih ke konsil dan kolegium
keperawatan, seperti pengiriman TKI perawat ke luar negeri,
pengelolaan pendidikan keperawatan dan registrasi perawat.
2. Kedua,
dengan kuatnya profesi perawat, maka akan berdampak pada
sejajarnya profesi perawat dengan dokter yang selama ini dapat
dikatakan sebagai kemitraan semu atau bahkan kalau diambil istilah
kasar seperti “majikan” dan “pembantu”.
Jikalau ada suatu profesi yang melaksanakan pekerjaan profesi lain dan dianggap legal, tentu itu adalah profesi perawat.
Jika ada profesi yang bekerja menunggu instruksi profesi lain, tentu itu adalah perawat.
Jika ada profesi yang ditugasi mengerjakan pekerjaan profesi lain, tentu itu juga adalah perawat.
Bagaimana tidak. Perawat bekerja di rumah sakit 24 jam, tidak
hanya merawat tetapi juga melakukan tindakan medis seperti menyuntik,
memberi obat, dan memasang infus, kadang-kadang juga menulis resep
sesuai nasehat dokter yang kerap malas datang ke puskesmas atau ke rumah sakit dan
hanya memberi resep via telepon. Selama 24 jam, perawat bertugas di
ruang-ruang perawatan. Pasien datang dan seringkali harus menunggu
kunjungan dokter selama 2 x 24 jam. Perawat di puskesmas juga demikian.
Tidak jarang dokter yang bertugas datang telat dan pulang cepat.
Walhasil, perawat yang melakukan anamnesa, diagnosa (menyimpulkan
penyakit) dan terapi (meresepkan obat) pasien. Perawat (berdasarkan
info dari beberapa teman perawat) sebenarnya enggan melakukannya
jika tidak terpaksa. Terpaksa karena dokternya datang telat atau tidak
ada. Teman-teman perawat pernah menyampaikan kepada saya,
mungkinkah pasien yang datang itu kita suruh pulang atau ke
puskesmas lain dengan alasan tidak ada dokternya. Bahkan, tidak jarang
pimpinan institusi kesehatan mendelegasikan kewenangan mendiagnosis
dan mengobati yang semestinya wewenang dan tanggung jawab dokter –
kepada perawat. Dengan kondisi tersebut, bagaimana mungkin kita
menutup praktik ilegal perawat berkedok matra dalam hal mengobati
pasien sementara di institusi pemerintah sendiri,
perawat
ditugasi mengobati. Memang harus diakui, profesi kesehatan yang
multifungsi adalah perawat, entah karena dianggap mampu atau
karena dianggap profesi pembantu. Bagaimana tidak, dalam hal
pengobatan sudah dapat dipastikan apabila tidak ada dokter, maka
yang mengobati adalah perawat. Ternyata, di institusi kesehatan
(terutama di puskesmas), apabila tidak ada tenaga profesi kesehatan
lainnya, maka pekerjaan, tugas dan tanggung jawab profesi kesehatan menjadi tugas dan tanggung jawab perawat.
Puskesmas saat ini mempunyai 6 pro¬gram dasar yang dikenal dengan “basic six”, terdiri dari :
1. Promosi kesehatan
2. Penyehatan lingkungan
3. Peningkatan gizi
4. pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk KB,
5. penanggulangan penyakit termasuk imunisasi
6. pengobatan.
Apabila ditinjau dari segi fungsional kesehatan, maka program
promosi kesehatan menjadi tanggung jawab penyuluh kesehatan masyarakat,
penyehatan lingkungan menjadi tanggung jawab sanitarian, peningkatan
gizi menjadi tanggung jawab nutrisionis, pelayanan kesehatan ibu dan
anak termasuk KB menjadi tanggung jawab bidan, penanggulangan penyakit
menjadi tanggung jawab epidemiolog dan entomolog, serta imunisasi
dan pengobatan menjadi tanggung jawab dokter. Sedangkan perawat
mempunyai program perawatan kesehatan masyarakat yang saat ini hanya
merupakan program pengembangan atau program terintegrasi dengan
program lain-nya. Ironisnya, ketika profesi atau fungsional kesehatan
terkait program tersebut (6 program pokok puskesmas) tidak ada, maka
yang menjadi pemain pengganti adalah perawat. Sementara itu, tugas
utama perawat tidak ada yang menggantikannya apabila perawatnya
berhalangan. Sedangkan dari segi etika profesi atau hukum, perawat
tidak memliki perlindungan. Apabila terjadi sesuatu terkait
pekerjaannya yang tidak sesuai dengan profesinya, maka ini dapat
dikategorikan malpraktik. RUU Keperawatan diharapkan dapat
memperjelas dan mempertegas batasan dan standar profesi perawat, serta
memberi perlindungan terhadap profesi perawat. Dengan UU
Keperawatan, diharapkan tidak ada lagi kesewenang-wenangan atau
monopoli profesi lain terhadap profesi perawat. Di sisi lain,
dengan adanya UU Keperawatan, seorang perawat dituntut untuk taat
hukum dan mengembangkan ilmu pengetahuan terkait profesinya. Tidak ada
lagi perawat yang bekerja tanpa mengetahui apa yang menjadi
kewenangannya. Tidak ada lagi perawat yang menjadi pembantu profesi
lain. Bahkan, jika memungkinkan program perawatan kesehatan
masyarakat (perkesmas) menjadi program dasar di puskesmas, sehingga
perawatan komunitas sebagai istilah baru dari perkesmas dapat menjadi
program impian seorang perawat di puskesmas.
Permasalahannya
sekarang adalah RUU Keperawatan masih tarik ulur, tidak jelas
kapan terwujud. Pekerjaan rumah wakil rakyat 2004 – 2009 yang
dilanjutkan oleh periode 2009 – 2014
untuk membahas dan mengesahkan
UU tersebut belum berakhir. Lantas, mampukah mereka mewujudkan UU
tersebut? Kita hanya bisa berharap dan berdoa. Walaupun waktu kerja
mereka hanya menghitung bulan, semoga mimpi dan harapan perawat
untuk mempunyai payung hukum berupa UU dapat terwujud.