Perawat Adalah Hidupku

Aku Cinta Profesi ini

Senyum adalah obat

Kami lahir dari Jiwa yang ingin menumbuhkan kebahagiaan, mari hidup sehat

Anda perawat, berarti anda orang yang terpilih

Tuhan memilih anda untuk mengulurkan tangan bagi si sakit, mungkinkah anda tidak dibahagiakan?

Tuluslah dalam melayani

Jangan hina pribadi anda dengan kepalsuan karena anda adalah mutiara yang tak ternilai

Kita Sudah Bekerja

Kebaikan tidak bernilai selama diucapkan, akan tetapi bernilai sesudah dikerjakan

Selasa, 29 Juli 2014

Apa Kabar Undang-Undang Keperawatan?

Masa bakti  anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009-2014 sebentar lagi usai. Isi Senayan dalam tahun ini sebagian besar akan berubah menjadi wajah-wajah baru dan lugu. Wajah yang di pelupuk matanya bersinar keluguan dan kesungguhan untuk mengabdi pada negara, pada konstituen yang memilih mereka atau pada rakyat yang telah memberi suaranya, sebagaimana harapan yang dilontarkan Iwan Fals untuk para wakil rakyat: “Saudara dipilih bukan dilotre, meski kami tak kenal siapa saudara.”Para wakil rakyat ini sangat diharapkan dapat menyepakati peraturan atau undang-undang yang mengakomodasi kepentingan negara serta mengayomi dan melindungi rakyat. Mereka bukan sekelompok orang atau kepentingan. Undang-undang yang dihasilkan pun harus mempunyai kualitas tinggi, sehingga tidak perlu direvisi setiap saat, apalagi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Walaupun demikian, pembahasan undang-undang tersebut tidak semestinya macet di tengah jalan alias tidak selesai dalam masa kerja anggota DPR yang hanya lima tahun. Apalagi jika UU itu merupakan peninggalan anggota DPR masa kerja sebelumnya, tentu ini akan menjadi tanda tanya besar. Hal itu terjadi pada Rancangan Undang-Undang Keperawatan. RUU Keperawatan telah masuk ke Senayan sejak masa kerja anggota DPR 2004 – 2009,
tetapi hingga kini nasibnya tak jelas. Akhir-akhir ini, hampir tidak terdengar adanya pembahasan RUU tersebut di DPR, padahal targetnya akhir 2013 telah disahkan. Kenyataannya hingga masuk 2014 semakin tidak jelas. hingga kini masih dalam tarik ulur dan belum disahkan. RUU Keperawatan diyakini dapat menjadi penguat dan pelindung bagi profesi perawat. Berdasarkan analisis beberapa ahli keperawatan dan kalangan DPR sendiri, RUU ini sangat ditakutkan oleh Kementerian Kesehatan dan sebagian profesi kesehatan lain, terutama dokter. Mengapa?

1. Pertama,
dengan adanya Undang -Undang Keperawatan, maka sebagian kewenangan Kementerian Kesehatan akan beralih ke konsil dan kolegium keperawatan, seperti pengiriman TKI perawat ke luar negeri, pengelolaan pendidikan keperawatan dan registrasi perawat.


2. Kedua,
dengan kuatnya profesi perawat, maka akan berdampak pada sejajarnya profesi perawat dengan dokter yang selama ini dapat dikatakan sebagai kemitraan semu atau bahkan kalau diambil istilah kasar seperti “majikan” dan “pembantu”.
 
Jikalau ada suatu profesi yang melaksanakan pekerjaan profesi lain dan dianggap legal, tentu itu adalah profesi perawat. 

Jika ada profesi yang bekerja menunggu instruksi profesi lain, tentu itu adalah perawat. 

Jika ada profesi yang ditugasi mengerjakan pekerjaan profesi lain, tentu itu juga adalah perawat.

Bagaimana tidak. Perawat bekerja di rumah sakit 24 jam, tidak hanya merawat tetapi juga melakukan tindakan medis seperti menyuntik, memberi obat, dan memasang infus, kadang-kadang juga menulis resep sesuai nasehat dokter yang kerap malas datang ke puskesmas atau ke rumah sakit dan hanya memberi resep via telepon. Selama 24 jam, perawat bertugas di ruang-ruang perawatan. Pasien datang dan seringkali harus menunggu kunjungan dokter selama 2 x 24 jam. Perawat di puskesmas juga demikian. Tidak jarang dokter yang bertugas datang telat dan pulang cepat. Walhasil, perawat yang melakukan anamnesa, diagnosa (menyimpulkan penyakit) dan terapi (meresepkan obat) pasien. Perawat (berdasarkan info dari beberapa teman perawat) sebenarnya enggan melakukannya jika tidak terpaksa. Terpaksa karena dokternya datang telat atau tidak ada. Teman-teman perawat pernah menyampaikan kepada saya, mungkinkah pasien yang datang itu kita suruh pulang atau ke puskesmas lain dengan alasan tidak ada dokternya. Bahkan, tidak jarang pimpinan institusi kesehatan mendelegasikan kewenangan mendiagnosis dan mengobati yang semestinya wewenang dan tanggung jawab dokter – kepada perawat. Dengan kondisi tersebut, bagaimana mungkin kita menutup praktik ilegal perawat berkedok matra dalam hal mengobati pasien sementara di institusi pemerintah sendiri,
perawat ditugasi mengobati. Memang harus diakui, profesi kesehatan yang multifungsi adalah perawat, entah karena dianggap mampu atau karena dianggap profesi pembantu. Bagaimana tidak, dalam hal pengobatan sudah dapat dipastikan apabila tidak ada dokter, maka yang mengobati adalah perawat. Ternyata, di institusi kesehatan (terutama di puskesmas), apabila tidak ada tenaga profesi kesehatan lainnya, maka pekerjaan, tugas dan tanggung jawab profesi kesehatan menjadi tugas dan tanggung jawab perawat.

Puskesmas saat ini mempunyai 6 pro¬gram dasar yang dikenal dengan “basic six”, terdiri dari :
1. Promosi kesehatan
2. Penyehatan lingkungan
3. Peningkatan gizi
4. pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk KB,
5. penanggulangan penyakit termasuk imunisasi
6. pengobatan.

Apabila ditinjau dari segi fungsional kesehatan, maka program promosi kesehatan menjadi tanggung jawab penyuluh kesehatan masyarakat, penyehatan lingkungan menjadi tanggung jawab sanitarian, peningkatan gizi menjadi tanggung jawab nutrisionis, pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk KB menjadi tanggung jawab bidan, penanggulangan penyakit menjadi tanggung jawab epidemiolog dan entomolog, serta imunisasi dan pengobatan menjadi tanggung jawab dokter. Sedangkan perawat mempunyai program perawatan kesehatan masyarakat yang saat ini hanya merupakan program pengembangan atau program terintegrasi dengan program lain-nya. Ironisnya, ketika profesi atau fungsional kesehatan terkait program tersebut (6 program pokok puskesmas) tidak ada, maka yang menjadi pemain pengganti adalah perawat. Sementara itu, tugas utama perawat tidak ada yang menggantikannya apabila perawatnya berhalangan. Sedangkan dari segi etika profesi atau hukum, perawat tidak memliki perlindungan. Apabila terjadi sesuatu terkait pekerjaannya yang tidak sesuai dengan profesinya, maka ini dapat dikategorikan malpraktik. RUU Keperawatan diharapkan dapat memperjelas dan mempertegas batasan dan standar profesi perawat, serta memberi perlindungan terhadap profesi perawat. Dengan UU Keperawatan, diharapkan tidak ada lagi kesewenang-wenangan atau monopoli profesi lain terhadap profesi perawat. Di sisi lain, dengan adanya UU Keperawatan, seorang perawat dituntut untuk taat hukum dan mengembangkan ilmu pengetahuan terkait profesinya. Tidak ada lagi perawat yang bekerja tanpa mengetahui apa yang menjadi kewenangannya. Tidak ada lagi perawat yang menjadi pembantu profesi lain. Bahkan, jika memungkinkan program perawatan kesehatan masyarakat (perkesmas) menjadi program dasar di puskesmas, sehingga perawatan komunitas sebagai istilah baru dari perkesmas dapat menjadi program impian seorang perawat di puskesmas.

Permasalahannya sekarang adalah RUU Keperawatan masih tarik ulur, tidak jelas kapan terwujud. Pekerjaan rumah wakil rakyat 2004 – 2009 yang dilanjutkan oleh periode 2009 – 2014
untuk membahas dan mengesahkan UU tersebut belum berakhir. Lantas, mampukah mereka mewujudkan UU tersebut? Kita hanya bisa berharap dan berdoa. Walaupun waktu kerja mereka hanya menghitung bulan, semoga mimpi dan harapan perawat untuk mempunyai payung hukum berupa UU dapat terwujud.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar